Jumat, 18 Maret 2011

Obat Kegemukan

Imam Syafi'i berkata, "Si gemuk sama sekali tak akan sembuh kecuali menjadi Muhammad bin Hasan."

"Mengapa?" seseorang bertanya penasaran.

"Karena beliau berpikir. Sebab, orang yang berakal pasti berada dalam salah satu dari dua keadaan: memikirkan akhirat dan tempatnya kembali kelak, atau memikirkan dunia dan kehidupannya. Sedangkan kegemukan dan berpikir itu tak pernah bisa bertemu. Jika orang tidak memikirkan akhirat atau dunia, maka ia seperti ternak yang pantas gemuk," jawab Imam Syafi'i.

Dan beliaupun melanjutkan kata-katanya.

Pada zaman dahulu ada seorang raja yang menderita kegemukan. Ia sudah berobat kemana-mana tetapi tak kunjung sembuh. Hingga satu ketika ada orang pandai menghadapnya. Orang pandai itu berkata, "Paduka raja, perkenalkan hamba adalah seorang tabib dan ahli perbintangan. Hamba akan mengamati bintang dan nasib paduka hingga saya bisa memperkirakan obat untuk paduka."

Keesokan harinya orang itu dibawa lagi menghadap raja dan iapun berkata, "Paduka raja, obat apa yang harus saya katakam bagi orang yang umurnya tinggal sebulan? Inilah diri hamba yang akan menjadi jaminannya. Jika saya berbohong, bunuhlah hamba."

Maka sang rajapun memenjarakannya. Namun setengah bulan belum berlalu, badan sang raja sudah kurus (karena memikirkan sisa umurnya). Mengetahui kondisi raja yang demikian, si tabib tadi menghadap raja dan berkata, "Paduka, hamba telah mengobati paduka, sekarang bebaskanlah hamba." Sang raja pun akhirnya membebaskan tabib itu dan memberinya sejumlah hadiah.

Kamis, 17 Maret 2011

Dalam Segala Situasi, Baca Alhamdulillah

Dalam suatu perjalanan, seorang Badui melihat seorang Muslim tengah melakukan shalat. Agaknya, Muslim itu benar-benar hanyut dalam ibadahnya. Dari wajah dan tingkah lakunya, kelihatan bahwa dalam shalatnya itu ia sudah tidak terikat dengan alam sekitarnya, selain tubuhnya. Adapun hati dan perasaannya, ada bersama Allah.

Badui kafir memperhatikan terus, dan tiba-tiba, orang tadi tak bisa lagi berdiri. Namun, shalatnya diteruskan juga sambil duduk. Ahli ibadah itu tampak lemah. Satu dari kedua tangannya pun telah layu dan tak bisa bergerak lagi. Wajahnya menyimpan tanda-tanda penyakit berat, sementara tubuhnya betul-betul kurus dan tidak berdaya.

Tetapi, begitu selesai dari shalatnya, ia bersuara keras-keras dengan penuh kegembiraan yang dalam. "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan aku dari bencana yang banyak menimpa orang-orang selain aku."

Tentu saja orang kafir itu heran sekali, lalu bertanya kepada si Muslim, "Aneh, saya lihat kau sangat sengsara, tetapi kau masih juga memuji Tuhan atas karunia-Nya, dan bencana apakah yang kau maksud, yang telah dikehendaki Tuhan atas dirimu?"

"Alhamdulillah," kata si Muslim, "Segala puji bagi Allah, karena Dia telah membiarkan lidahku tetap memuji-Nya, Alhamdulillah atas segala karunia-Nya, Alhamdulillah..."

"Tahukah kau, bahwa penyakit yang telah melumpuhkan tangan dan kakimu, akhirnya akan memakan lidahmu?" tanya si kafir.

Tapi, Muslim itu masih menjawab, "Kenapa saya harus merisaukan lidahku? Bukankah lidahku ini berbicara sekadar menyatakan apa yang ada dalam hati? Bila hatiku masih dapat memuji, bersyukur dan menyebut nama Tuhan, bukankah itu sudah cukup bagiku?"

"Dan kalau itu betul-betul terjadi, apalagi yang patut kau puji, kau syukuri, dan kau sebut-sebut nama Tuhan?" tanya si kafir.

Aku akan tetap memuji, mensyukuri dan menyebut nama-Nya. Karena, Dia telah menciptakan aku dari tiada, dengan segala rahmat dan belas kasih-Nya. Dia telah memberi aku makan sejak aku masih di dalam perut ibu, lalu aku dipelihara dan diberi rezeki sampai saat ini. Bahkan, sampai aku mati kelak, meski aku diwaktu itu sudah tak bisa disebut hidup lagi.
Segala puji bagi Allah atas segala karunia-Nya yang telah menciptakan aku dan memberiku rezeki sampai mati. Bila maut itu merupakan kehidupan lain kelanjutan dari kehidupan dunia yang fana ini, maka saya yakin karunia Tuhan akan tetap ada. Maka, pujiku kepada Allah pun akan tetap aku lakukan sampai sesudah mati sekalipun, sampai saat kebangkitan tiba, dan seterusnya. Bahkan, takkan ada habis-habisnya, selagi kehidupan sesudah kiamat tetap berlangsung."

"Itu benar, saudaraku...," orang kafir itu akhirnya mengakui. "Memang, segala puji bagi Allah, segenap rasa syukur patut dipanjatkan kepada-Nya, dan segala zikir dan sebutan, Dia juga yang memilikinya. Saksikanlah aku wahai saudaraku, bahwa aku bersaksi, tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah. Terimalah ke-Islamanku, Tuhanku, jadikanlah aku termasuk orang yang gemar memuji, bersyukur dan berzikir kepada-Mu."

(Kisah-kisah Teladan sepanjang sejarah Islam; Ir. Abdul Razaq Naufal; )